Kamis, 09 Januari 2014

Etika Profesi Akuntansi 4

Diposting oleh nithaaa di 22.43 0 komentar
Nama               : Yanita Permata Sari

NPM               : 28210594


Kelas               : 4EB18


1.      Jelaskan bagaimana audit social independen dan mekanisme perlindungan formal dapat mendorong perilaku etis?
Audit Sosial Independen
Audit social independen yang mengevaluasi keputusan dan praktik manajemen berdasarkan kode etik perusahaan, meningkatkan kemungkinan rasa takut terungkap. Audit itu dapat berupa evaluasi rutin yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan.
Mekanisme Perlindungan Formal
Organisasi disarankan menyediakan mekanisme formal untuk melindungi karyawan yang mengalami dilema etis agar mereka dapat melakukan hal yang benar tanpa merasakan takut akan dipermalukan di depan umum.


2.      Jelaskan tahapan pengembangan moral Lawrence Kohlberg?
Dalam penelitiannya Lawrence Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap dalam seluruh proses berkembangnya pertimbangan moral anak dan orang muda. Keenam tipe ideal itu diperoleh dengan mengubah tiga tahap Piaget/Dewey dan menjadikannya tiga “tingkat” yang masing-masing dibagi lagi atas 2 “tahap”. ketiga “tingkat” itu adalah tingkat prakonvensional,konvensional dan pasca-konvensional.
Tahap prakonvensional sering kali berperilaku “baik” dan tanggap terhadap label-label budaya mengenai baik dan buruk, namun ia menafsirkan semua label ini dari segi fisiknya (hukuman, ganjaran kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik mereka yang mengadakan peraturan dan menyebut label tentang yang baik dan yang buruk. Tingkat ini biasanya ada pada anak-anak yang berusia empat hingga sepuluh tahun.
Tingkat kedua atau tingkat konvensional juga dapat digambarkan sebagai tingkat konformis, meskipun istilah itu mungkin terlalu sempit. Pada tingkat ini, anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandangnya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Individu tidak hanya berupaya menyesuaikan diri dengan tatanan sosialnya, tetapi juga untuk mempertahankan, mendukung dan membenarkan tatanan sosial itu.
Tingkat pasca-konvensional dicirikan oleh dorongan utama menuju ke prinsip-prinsip moral otonom, mandiri, yang memiliki validitas dan penerapan, terlepas dari otoritas kelompok-kelompok atau pribadi-pribadi yang memegangnya dan terlepas pula dari identifikasi si individu dengan pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tersebut. Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu.

Pada tingkat prakonvensional kita menemukan:
Tahap I
Orientasi hukuman dan kepatuhan: Orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang tak dipersoalkan terhadap kekuasan yang lebih tinggi. Akibat fisik tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan ini.

Tahap 2
Orientasi relativis-intrumental: Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia dipandang seperti hubungan di tempat umum. Terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan pembagian, akan tetapi semuanya itu selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis, timbal-balik adalah soal ”Jika anda menggaruk punggungku, nanti aku akan menggaruk punggungmu”, dan ini bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan.

Pada tingkat konvensional kita menemukan:
Tahap 3
Orientasi kesepakatan antara pribadi atau Orientasi ”Anak manis”: Orientasi ”anak manis”. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak konformitas dengan gambaran-gambaran stereotip mengenai apa yang diangap tingkah laku mayoritas atau tingkah laku yang ’wajar’. Perilaku kerap kali dinilai menurut niat, ungkapan ”ia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting dan digunakan secara berlebih-lebihan. Orang mencari persetujuan dengan berperilaku ”baik”.

Tahap 4
Orientasi hukum dan ketertiban: Orientasi kepada otoritas, peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatan rasa hormat dengan berperilaku menurut kewajibannya.

Pada tingkat pasca-konvensional kita melihat:
Tahap 5
Orientasi kontrak sosial legalistis: Suatu orientasi kontrak sosial, umumnya bernada dasar legalistis dan utilitarian. Perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat suatu kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai-nilai dan pendapat-pedapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur yang sesuai untuk mencapai kesepakatan. terlepas dari apa yang disepakati secara konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah merupakan soal ”nilai” dan ”pendapat” pribadi. hasilnya adalah suatu tekanan atas ”sudut pandangan legal”, tetapi dengan menggarisbawahi kemungkinan perubahan hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai kegunaan sodial dan bukan membuatnya beku dalam kerangka ”hukum dan ketertiban” seperti pada gaya tahap 4. Di luar bidang legal, persetujuan dan kontrak bebas merupakan unsur-unsur pengikat unsur-unsur kewajiban. Inilah moralitas ”resmi” pemerintahan Amerika Serikat dan mendapatkan dasar alasannya dalam pemikiran para penyusun Undang-Undang.

Tahap 6
Orientasi Prinsip Etika Universal: Orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemaham logis, menyeluruh, universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas, kategoris imperatif). Prinsip-prinsip itu adalah prinsip-prinsip universal mengenai keadilan, timbal-balik, dan persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat terhadap martabat manusia sebai person individual.


3.      Jelaskan pendekatan “wortel dan tongkat” atau the carrot and stick concept!
Teori wortel dan tongkat tentang motivasi (seperti teori fisika Newton) berlaku dengan baik di bawah situasi tertentu. Alat pemuas kebutuhan psikologi manusia dan dalam batas tertentu kebutuhan keamanan dapat disediakan atau tidak diberikan oleh manajemen. Pekerjaan itu juga merupakan alat demikian juga uaph kerja, kondisi kerja dan keuntungan. Dengan alat-alat tersebut individu dapat dikendalikan selama dia berusaha untuk mencari nafkah.
Tetapi teori wortel dan tongkat tidak berlaku sekaligus jika seseorang telah mencapai level penghidupan yang cukup dan termotivasi akan kebutuhan pada level yang lebih tinggi. Manajemen tidak dapat menyedia kanrasa hormat pada diri untuk seseorang, atau rasa hormat dari kelompoknya atau pemuasan kebutuhan akan pemenuhan diri. Ini dapat menciptakan suatu kondisi dimana dia didorong untuk mencari pemuasan bagi dirinya sendiri atau ini dapat menghalanginya dengan gagalnya terciptanya kondisi itu.
Tetapi penciptaan kondisi tersebut bukanlah kendali. Ini bukanlah alat  yang bagus untuk mengarahkan perilaku. Dan sehingga manajemen menemukan dirinya pada posisi yang ganjil. Standar kehidupan tinggi yang diciptakan oleh teknologi modern menyediakan pemenuhan kebutuhan psikologi dan kebutuhan keamanan secara mencukupi. Pengecualian yang cukup signifikan adalah dimana praktek manajemen tidak dapat menciptakan kepercayaan diri dan maka dari itu kebutuhan keamanan terhalangi. Tetapi dengan membuat pemuasan yang memungkinkan akan kebutuhan level rendah, manajemen menghalangi dirinya sendiri terhadap kemampuan untuk menggunakan hal-hal yang dipercaya oleh teori konvensional penghargaan, janji, insentif atau ancaman dan alat pemaksa lainnya sebagai motivator.
Filosofi manajemen tentang arahan dan kendali dengan mengabaikan keras atau lemahnya tidaklah cukupuntuk memotivasi karena kebutuhan manusia yang menggunakan pendekatan ini sekarang menjadi motivator perilaku yang tidak penting. Arahan dan kendali menjadi tidak berfungsi dalam memotivasi orang-orang yang kebutuhan pentingnya adalah kebutuhan sosial dan egoistis. Pendekatan keras maupun lemah gagal karena tidak lagi relevan dengan situasi sekarang.
Orang-orang yang kehilangan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan yang penting bagi diri mereka di tempat kerja berlaku tepat seperti yang diperkirakan dengan kemalasan, sikap pasif tidak mau berubah, kurang bertanggung jawab, kemauan mengikuti peminpin, permintaan tak beralasan akan keuntungan ekonomis. Hal ini akan membuat kita terlihat terjebak dalam jaring yang kita buat sendiri.
4.      Carilah beberapa contoh perilaku tidak etis minimal 5!
a.       Penjualan produk yang sudah kadarluasa
b.      Penipuan produk yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan
c.       Menutupi pekerjaan yang tidak beres hanya demi uang
d.      Memakai uang perusahaan untuk kepentingan pribadi
e.       Memakai fasilitas Negara untuk pekerjaan illegal

5.      Apa yang dimaksud dengan  :
a.       Penyimpangan ditempat kerja 
Penyimpangan di tempat kerja adalah perilaku tidak etis yang melanggar norma-norma organisasi mengenai benar atau salah.

b.      Penyimpangan hak milik 
Perilaku tidak etis terhadap harta milik perusahaan. Misalnya: menyabot, mencuri atau merusak peralatan, mengenakan tarif jasa yang lebih tinggi dan mengambil  kelebihannya, menipu jumlah jam kerja, mencuri dari perusahaan lain.
c.       Penyimpangan politik 
Yaitu menggunakan pengaruh seseorang untuk merugikan orang lain dalam perusahaan. Misalnya: mengambil keputusan berdasarkan pilih kasih dan bukan kinerja, menyebarkan kabar burung tentang rekan kerja, menuduh orang lain atas kesalahan yang tidak dibuat.

d.      Penyimpangan produksi 
Perilaku tidak etis dengan merusak mutu dan jumlah hasil produksi. Misalnya: pulang lebih awal, beristirahat lebih lama, sengaja bekerja lamban, sengaja membuang-buang sumber daya.

READ MORE - Etika Profesi Akuntansi 4
 

beautiful words Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei